Daán yahya/Republika

Belajar dari Runtuhnya Andalusia

Granada menjadi kerajaan Islam atau taifa terakhir di Iberia, Eropa.

Oleh: Hasanul Rizqa

Awal tahun baru tidak hanya merupakan momen yang penuh harapan, tetapi juga introspeksi dan refleksi. Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun lalu hendaknya menjadi bahan perenungan untuk melangkah ke depan. Sekurang-kurangnya, janganlah mengulangi kesalahan yang sama seperti dahulu.

 

Dalam konteks sejarah dunia, awal Januari juga menjadi pengingat salah satu peristiwa tragis bagi kaum Muslimin, yakni runtuhnya peradaban Islam di Semenanjung Iberia. Saat berada di bawah pemerintahan (daulah) Muslim, daerah ujung barat daratan Eropa tersebut populer dengan nama al-Andalus atau Andalusia. Itu terdiri atas Spanyol, Portugal, dan Prancis selatan kini.

 

Tepat pada tanggal 2 Januari 1492 M, kerajaan Islam (taifa) Granada dapat dikuasai pasukan Katolik yang dipimpin raja Ferdinand II dari Aragon dan ratu Isabella I dari Kastila. Kekalahan itu tidak hanya berarti tamatnya riwayat taifa tersebut, melainkan juga senja kala peradaban Islam secara keseluruhan yang telah berkibar selama lebih dari 700 tahun di Benua Biru. Sejarah mencatat, kaum Muslimin mulai menguasai Iberia pada awal abad kedelapan.

 

Titik mula Andalusia terjadi persisnya pada 711 M. Kala itu, Thariq bin Ziyad sukses membebaskan Sidonia, Karmona, Kota Kordoba, dan Kota Granada dari kendali Roderick, sang penguasa Visigoth. Semua daerah dan kota di Iberia tersebut kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah.

 

Pada 750 M, gerakan revolusioner Abbasiyah menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sejak saat itu, lahirlah kekhalifahan baru yang berpusat di Baghdad, Irak. Walaupun rezim Bani Abbas dengan gencar melakukan penyisiran terhadap sisa-sisa kekuatan musuhnya, tetap ada segelintir tokoh sentral Umayyah yang berhasil lolos.

 

Di antara para bangsawan Umayyah yang sukses menyelamatkan diri adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Begitu keluar dari Syam dan Mesir, ia berupaya sampai ke Maghribiyah untuk mengumpulkan pengikut. Selanjutnya, disusunnya rencana untuk merebut Andalusia. Waktu itu, usianya masih 22 tahun.

 

Ad-Dakhil ternyata dapat mengeksekusi taktik politik dan militernya dengan amat baik. Dengan kekuasaan di tangan, ia merintis tegaknya pemerintahan Umayyah di Andalusia. Sekitar 150 tahun sesudah kematiannya, anak keturunannya mendeklarasikan kekhalifahan baru di Kordoba dengan tujuan menyaingi Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo (Fathimiyah).

 

Seorang sarjana Prancis, Gustve Le Bon (1841-1931), mengomentari kekhalifahan Islam di Hispania pada masa itu. Seperti dinukil Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013), ia mengatakan, “Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Dalam waktu kurang dari satu abad, mereka mampu menghidupkan tanah yang mati, membangun kota-kota yang runtuh, mendirikan bangunan-bangunan megah, dan menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara lain.”

 

Pada abad ke-11, tiada lagi tokoh Umayyah yang cukup berwibawa untuk memimpin seluruh Andalusia. Akhirnya, wilayah Islam di Iberia itu terpecah belah menjadi banyak negara kecil, yang disebut sebagai taifa. Masing-masing taifa mengeklaim independensi.

 

Munculnya dinasti-dinasti kecil lambat laun menjadikan Muslimin Andalusia kian lemah secara politik. Hal itu menjadi kesempatan besar bagi kerajaan-kerajaan Kristen di sekitarnya untuk balik menyerang. Ironisnya, dalam keadaan demikian beberapa taifa justru meminta bantuan kaum Salibis untuk melawan taifa lainnya.

 

Menyadari peliknya situasi, sejumlah raja taifa meminta bantuan kepada saudara seiman di seberang lautan. Maka datanglah dinasti-dinasti Muslim dari Afrika utara. Kedatangannya menghalau koalisi Salibis dari wilayah Andalusia. Murabithun dan Muwahiddun adalah beberapa contoh wangsa Maghribiyah yang sukses menjaga peradaban Islam di Iberia.

 

Pada medio abad ke-13, fokus Dinasti Muwahiddun bergeser. Perhatiannya lebih banyak tercurah pada daerah-daerah di Afrika utara. Pascawafatnya Raja Abdul A’la Idris al-Ma’mun pada 1228, wangsa tersebut kehilangan sama sekali pengaruhnya di Andalusia. Alhasil, keadaan anarki muncul kembali di banyak kota.

 

Pada 1238, Kordoba jatuh ke tangan penguasa Kristen. Sekira 10 tahun kemudian, Sevilla bernasib serupa. Bagaikan rumah kartu, satu per satu taifa lepas dari kuasa Muslim. Bagaimanapun, Granada tetap bertahan sebagai kerajaan Islam yang tersisa di bumi Hispania hingga tahun 1492.

DOK wikipedia

Kerajaan Granada

 

Riwayat taifa terakhir itu bermula pada tahun 1230. Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf bin Nashr merupakan penguasa pertama Granada. Dialah yang mendirikan Bani Nashr, yang pada akhirnya secara turun temurun memimpin kerajaan Islam tersebut. Nama lain kabilah itu adalah Bani Ahmar, yang merujuk pada leluhur Muhammad, yakni Yusuf al-Ahmar.

 

Beberapa sejarawan mencatat, Muhammad merupakan seorang Arab kelahiran Arjona, sebuah kota kecil di sekitar Sungai Guadalquivir, Spanyol. Walaupun berasal dari keluarga yang bersahaja, nasabnya bukan sembarangan. Silsilahnya sampai pada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sa’d bin Ubadah, dari Bani Khazraj—salah satu kelompok etnis terkemuka di Madinah.

 

Pada masa jayanya, Muhammad sukses menguasai bukan hanya Granada, tetapi juga Jaen, Almeira, Malaga, dan Valencia. Sebagai pemimpin Muslim, ia juga berjuang melawan serangan Kerajaan Kastilla serta memadamkan pemberontakan kaum mudajjan.

 

Salah satu legasinya adalah Istana al-Hamra atau Alhambra. Bangunan nan megah itu berdiri di atas Bukit Sabika, dekat Pegunungan Sierra Nevada. Hingga kini, Alhambra masih dapat dijumpai sebagai representasi pencapaian arsitektur Islam era Andalusia.

 

Pada 1273, Muhammad tutup usia. Anak keturunannya mengembangkan wilayah kekuasaan Bani Nashr. Alhasil, semakin banyak warga yang hijrah ke negeri tersebut. Ada yang berasal dari taifa-taifa tetangga. Mereka umumnya adalah para pengungsi yang negerinya telah dicaplok kerajaan Kristen. Tidak sedikit pula imigran yang datang dari Maghribiyah atau Tunis.

 

Selama dua abad, Granada di bawah kepemimpinan raja-raja Bani Nashr terus bertahan. As-Sirjani mengatakan, pada masa itu Granada merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Di antara warga setempat, terdapat kaum cerdik cendekia. Mereka ikut menopang peradaban Islam, sedangkan penguasa Muslim setempat pun mendukung kemajuan. Berdirinya masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan umum, dan universitas di sana merupakan segelintir contoh komitmen demikian.

 

Dalam jangka waktu 200 tahun itu, Granada tidak sepi dari ancaman. Berkali-kali, koalisi kerajaan Kristen menggempur perbatasan taifa tersebut. Untuk menjaga kekuatan militer, raja Bani Nashr meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri jiran Muslim, semisal Bani Marin. Dinasti yang berpusat di Maghribiyah itu mengirimkan bantuan persenjataan dan pasukan setiap kali Granada diserang musuh.

 

Menurut as-Sirjani, faktor lainnya yang membuat Granada bertahan cukup lama adalah keandalan benteng-benteng perbatasannya. Memang, pada akhirnya tembok pertahanan itu runtuh akibat terus diserang kerajaan-kerajaan Kristen sekitarnya. Terlebih lagi, pada abad ke-15 faksi-faksi Salibis mulai bersatu sehingga meningkatkan daya serang terhadap taifa ini.

 

Bagaimanapun, “masa tenang” selama lebih dari satu abad itu cukup untuk memunculkan banyak pencapaian peradaban Islam di Granada. Dari kota tersebut, lahirlah sejumlah ilmuwan dengan karya-karya yang memukau. Industri kertas, tekstil, garmen, dan pembuatan kapal juga bergeliat sehingga menambah pundi-pundi pemasukan negara.

dok Wikipedia

Perang saudara

 

Denting bahaya mulai berbunyi ketika sejumlah bangsawan Bani Nashr terlibat persaingan keras. Mereka tidak malu-malu lagi untuk berebut kuasa atau mempertahankan kedudukan. Ketika seorang raja mangkat, di saat yang sama anak-anaknya saling berkonflik untuk mengeklaim takhta. Dampaknya, rasa persatuan kian melemah atau bahkan hilang sama sekali.

 

Saat Amir Ali Abi al-Hasan memimpin, terasa benar bahwa Granada kian mengalami kemunduran. Kas negara di ambang kebangkrutan. Sebab, sang pemimpin lebih gemar hidup berfoya-foya daripada memerhatikan kesejahteraan rakyat. Ia juga mengabaikan keperluan militer sehingga pertahanan kerajaan kian rapuh.

 

Seakan tidak cukup dengan keadaan koruptif demikian, perang saudara kemudian terjadi. Yang paling keras adalah perselisihan antara faksi yang pro-Muhammad XII dan Muhammad al-Zagal. Ini sesungguhnya konflik antara keponakan dan pamannya.

 

Dalam sebuah misi militer, Amir Ali Abi al-Hasan bersama dengan al-Zagal sukses mengusir pasukan Raja Ferdinand II. Bukannya turut senang, Muhammad XII kian dengki melihat kemenangan tersebut. Ia juga khawatir, nama keduanya semakin populer di tengah rakyat.

 

Ketika akhirnya al-Zagal naik takhta, kebencian Muhammad XII tak lagi terbendung. Sang keponakan lantas melancarkan serangan ke istana. Demi memuluskan ambisinya, ia bekerja sama dengan koalisi kerajaan-kerajaan Kristen.

 

Bukan main gembiranya Ferdinand. Terlebih lagi, raja Kristen itu telah sepakat dengan Ratu Isabella dari Kastila. Keduanya menggabungkan kekuatan militer masing-masing negerinya. Tujuannya meneguhkan koalisi Salibis demi mengusir daulah Islam dari Hispania untuk selamanya.

 

Muhammad XII menerima bantuan pasukan Kristen. Untuk itu, bangsawan Bani Nashr ini telah berjanji kepada Ferdinand dan Isabella untuk menyerahkan kedaulatan Granada apabila al-Zagal lengser dari kursi kekuasaan. Inilah awal dari perang saudara yang mengakhiri riwayat ratusan tahun Andalusia di Iberia.

 

Strategi adu domba berhasil. Al-Zagal tewas di tangan Yahya, seorang pengkhianat dari kalangan Nashr. Belakangan, Yahya murtad dari Islam dan mendapatkan suaka politik di Sevilla. Sebelum ke tempat persembunyiannya, pembunuh tersebut memuluskan penyerahan Lembah Aash yang sebelumnya dikuasai al-Zagal kepada Ferdinand dan Isabella.

 

Pada 1491, koalisi Aragon-Kastilla mulai menunjukkan tajinya. Tidak kurang dari 50 ribu pasukan Salibis diterjunkan untuk meruntuhkan tembok-tembok Kota Granada. Berbulan-bulan lamanya masyarakat Muslim setempat dirundung ketakutan. Sementara itu, Muhammad XII hanya sejenak menikmati pelampiasan dendamnya terhadap pamannya sendiri. Ia pada akhirnya ikut terseret dalam situasi yang sangat merugikannya.

 

Di ujung tahun 1491, ratusan ribu prajurit Muslim gugur saat mempertahankan benteng. Tepat pada 2 Januari 1492, Muhammad XII akhirnya mengibarkan bendera putih. Raja terakhir Bani Nashr itu menyerah kepada Aragon-Kastilla. Tuntaslah riwayat taifa Granada. Dengan demikian, berakhir pula kisah daulah Islam Andalusia di barat Benua Biru.

Seakan tidak cukup dengan keadaan koruptif demikian, perang saudara kemudian terjadi.

Teror Itu Bernama Reconquista

 

Jatuhnya Emirat atau Taifa Granada pada 1492 membuka babak baru bagi sejarah umat Islam di Spanyol atau Benua Eropa pada umumnya. Sayangnya, fase itu adalah kedukaan yang menimbulkan trauma mendalam bagi Muslimin.

 

Sebelum Granada bernasib nahas, sejumlah negeri Islam di Andalusia telah runtuh: Toledo (1085), Kordoba (1236), dan Sevilla (1248). Ironisnya, kejatuhan setiap taifa itu selalu didahului dengan adanya konflik internal di tataran elite Muslim setempat. Motifnya adalah perebutan kekuasaan yang membuka peluang bagi masuknya pengaruh musuh.

 

Tahun 1492 sering kali ditandai sebagai mulanya penguasaan kembali Kristen atas tanah Hispania (Reconquista). Bagaimanapun, intimidasi yang dilakukan Salibis sudah dilakukan jauh sebelum itu. Sesudah menaklukkan taifa-taifa, semua kerajaan Nasrani memaksa kaum Muslimin setempat dengan kekerasan.

 

Mereka dipaksa untuk murtad dan memeluk agama Kristen. Yang tidak mau, maka akan diusir ke seberang lautan, semisal Afrika utara, Sisilia, atau Anatolia. Kebebasan mereka sebagai warga yang merdeka benar-benar dibatasi sejak negerinya dikuasai Salibis.

 

Ya, Reconquista tidak sekadar berarti direbutnya kembali tanah Hispania dari tangan kaum Muslimin oleh kelompok Kristen. Dengan sistematis, segala bentuk pengaruh Islam hendak dihapuskan. Jejak-jejak pencapaian kaum Muslimin di bidang politik, sosial, dan kultur masyarakat Semenanjung Iberia terus digerus.

 

Reconquista pun tidak hanya sebatas perang dan penaklukan, tetapi juga repopulasi secara besar-besaran. Berbagai wilayah taifa yang direbut dari tangan raja-raja Muslim lantas ditempati umat Nasrani. Raja-raja Kristen di Eropa mengambil orang-orang mereka sendiri untuk ditempatkan di berbagai lokasi di Iberia sejak abad kesembilan.

 

Dengan demikian, wajah demografis Andalusia perlahan-lahan berubah sama sekali. Para penguasa Kristen bervisi menjadikan Iberia sebagai negeri satu agama. Homogenisasi seperti itu sangat bertolak belakang dengan corak budaya dan sosial setempat ketika masih dikuasai Islam.

 

Sejak dikuasai Bani Umayyah, Andalusia menerima dengan tangan terbuka komunitas-komunitas non-Muslim. Bahkan, kaum Yahudi, misalnya, mencapai puncak peradaban saat menjadi warga Andalusia. Bersama-sama, unsur Islam, Kristen, dan Yahudi membangun kemajuan Iberia di bawah bendera kekhalifahan. Hal itu dengan catatan, orang-orang non-Islam mesti membayar pajak (jizyah). Jika mereka tidak bersedia membayar pajak, maka hukumannya adalah dipenjara.

 

Kebijakan pajak sesungguhnya diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Kristen begitu mereka menguasai Andalusia. Akan tetapi, polanya begitu serampangan dan jelas sekali didasari dendam, alih-alih keadilan. Orang-orang non-Nasrani dibebani kewajiban pajak yang sangat besar. Kalau tidak mau ataupun tidak mampu membayarnya, warga tersebut akan diusir dari daerah tempat tinggalnya.

 

Praktis, pemerintahan Salibis ini tidak ubahnya teror bagi komunitas Muslim dan Yahudi. Reconquista menyebabkan mereka tercerabut dari kebebasan dan hak-hak sipil. Banyak kasus pengusiran terjadi. Ambil contoh, pada 30 Juli 1492, sekitar 200 ribu umat Yahudi diusir secara paksa oleh Raja Ferdinand Aragon. Pada tahun berikutnya, Uskup Agung Hernando de Talavera memaksa penduduk Muslim Granada untuk memeluk Katolik. Jika tidak mau berpindah keyakinan, maka mereka akan diusir dari Iberia.

 

Ignacio Tofino-Quesada dalam karyanya, Censorship and Book Production in Spain During the Age of the Incunabula menjelaskan, baik Ferdinand maupun Isabella bertanggung jawab dalam fenomena Reconquista. Pada 1502, ratu tersebut menetapkan aturan bahwa seluruh umat non-Kristiani yang berada di wilayah Kerajaan Kastilia wajib mengganti agamanya menjadi Katolik. “Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Raja Charles V terhadap umat Islam yang bermukim di wilayah Kerajaan Aragon pada 1526,” ungkap Ignacio.

 

Menurut catatan sejarah, Raja Philip III dari Spanyol mengusir 300 ribu Muslim Andalusia antara 1610 dan 1614 lewat titah yang ia keluarkan pada 22 September di 1609. Melalui praktik tersebut, rezim Salibis berusaha melenyapkan semua jejak peradaban Islam yang nyata-nyata telah banyak memberikan kontribusi dalam proses pencerahan Eropa.

 

Waktu menjadi tidak lagi sama bagi kaum Muslimin Andalusia. Sejak Reconquista diberlakukan, yang sangat efektif semenjak jatuhnya Granada, perayaan hari-hari besar Islam dihapuskan dari kalender nasional. Tidak ada lagi keramaian Idul Fitri atau Idul Adha di pusat-pusat kota.

 

Sebaliknya, tanggal tumbangnya Emirat Granada yakni 2 Januari diperingati secara besar-besaran. Bahkan, hingga kini perayaan tahunan itu masih digelar secara rutin dalam bentuk Dia de la Toma de Granada. Pawai dan arak-arakan diadakan dengan meriah, seolah-olah itulah momen gembira yang patut dikenang.

 

Tentu saja, Dia de la Toma hanya akan melukai hati kaum Muslimin Spanyol, khususnya di Granada. Pasalnya, perayaan tersebut seolah-olah menyiratkan Islam sebagai “makhluk” yang tidak boleh lagi muncul di daratan Hispania, bahkan dalam bentuk apa pun.

 

“Dewan Islam Granada berusaha melobi otoritas kota setempat untuk menghentikan perayaan Dia de la Toma. Namun, hingga saat ini permintaan tersebut belum lagi dikabulkan,” ungkap Craig S Smith dalam artikelnya, “Granada Journal: Where the Moors Held Sway, Allah Is Praised Again.”

LUKISAN KARYA FRANCISCO PRADILLA ORTIZ MENGGAMBARKAN TENTANG RAJA GRANADA MUHAMMAD XII MENYERAH PADA PASUKAN RAJA FERDINAND |  DOK wikipedia

Minta bantuan

 

Mengalami penindasan demikian, sebagian kaum Muslimin Andalusia tidak tinggal diam. Berbagai perlawanan pun bergelora di kota-kota di Spanyol. Akan tetapi, rezim Salibis terus menekan dan mengintimidasi mereka.

 

Karena itu, sejumlah tokoh Muslim Andalusia berinisiatif mengirimkan surat kepada raja-raja Islam di luar Iberia. Mereka mengirimkan utusan dan surat kepada sejumlah sultan dengan harapan, para penguasa yang seiman itu dapat menyelamatkan penduduk Andalusia dari kezaliman raja dan ratu Katolik yang ekstrem. Pengiriman duta tersebut menimbulkan kehebohan di dunia Islam.

 

Tak sedikit pemimpin Muslim yang segera menyampaikan pesan kepada paus di Roma. Petinggi Katolik itu diingatkan, kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam telah dan selalu dilindungi kebebasannya dalam beragama dan muamalah.

 

Maka dari itu, mengapa orang-orang Islam di Iberia menerima kezaliman yang luar biasa? Mendapatkan protes, paus kala itu tampak acuh tak acuh. Spanyol seperti dibiarkan untuk membersihkan unsur-unsur Islam dari negerinya.

 

Salah satu tumpuan harapan ketika itu adalah Turki Utsmaniyah. Walaupun belum menyandang titel kekhalifahan, kerajaan Islam yang berpusat di Anatolia itu tetap dikirimkan surat oleh tokoh-tokoh Muslim Andalusia.

 

Korespondensi antara mereka dan Sultan Beyezid II terdokumentasikan. Isinya antara lain sebagai berikut, seperti dikutip sejarawan Ali Muhammad ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (2003):

 

“Semoga Allah memanjangkan umur kerajaan dan hidup Tuan. Semoga Dia menolongmu dengan kemenangan atas musuh, dan menempatkanmu di tempat yang diridhai dan dimuliakan. Kami adukan kepada Tuan semua yang kami alami dan rasakan.”

 

Dalam surat yang sama, mereka juga mengeluhkan hasil diplomasi yang dilakukan dengan Dinasti Mamluk. Kerajaan Islam yang berpusat di Mesir itu memang telah merespons surat penduduk Muslim Andalusia terkait tragedi Reconquista. Namun, tidak terasa dampak yang signifikan.

 

Sebagai langkah awal, Beyezid II menginisiasi kesepakatan dengan Mamluk untuk menyatukan kekuatan. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Turki menyanggupi pengiriman armada laut ke Sisilia yang berada di bawah kekuasaan Spanyol. Adapun Mamluk berkewajiban menyerang Spanyol dari Afrika Utara.

 

Dalam hal ini, Beyezid II mengandalkan kepemimpinan pasukannya kepada Laksamana Kamal Reis, pelaut yang masyhur di seluruh Mediterania sebagai ahli strategi yang brilian. Namun, angkatan laut Utsmaniyah akhirnya mesti menghadapi gabungan dari tiga kekuatan sekaligus, yakni Spanyol, Prancis, dan Venesia ketika berlayar di Teluk Lapanto pada 1499. Pertempuran tersebut berakhir dengan gencatan senjata antara kedua belah pihak.

 

Reconquista tidak hanya dilakukan Aragon Kastilla, tetapi juga Portugis. Kerajaan yang terletak di sisi barat Iberia itu semakin agresif menyerang Muslimin terutama sejak dipimpin Pangeran Henrique O Navegador. Pasukannya telah merangsek hingga ke Ceuta, Maghribiyah, pada 1450-an.

 

Ketika Abad Eksplorasi berlangsung pada 1600-an, Spanyol dan Portugis memang bersaing satu sama lain. Namun, keduanya menganggap Utsmaniyah sebagai musuh bersama. Mereka pun sama-sama menganggap kewajiban untuk menyebarkan agama Kristen di negeri-negeri Muslim yang dijumpai, terutama di Asia.

ISTANA ALHAMBRA, SALAH SATU LEGASI KERAJAAN ISLAM GRANADA DI SPANYOL | dok wikipedia

Ibrah dari Andalusia

 

Dr Abdul Halim Uwais dalam buku Dirasatu Lisuquti Tsalatsina Daulah Islamiyah (1982) mengingatkan khalayak Muslim untuk mengambil ibrah dari peristiwa jatuhnya Granada dan Andalusia umumnya. Bagaimana riwayat peradaban Islam di Semenanjung Iberia yang menyinari Eropa selama ratusan tahun bisa tumbang dengan begitu “keras.” Umat Islam bukan hanya terusir dari negerinya sendiri, tetapi juga dipaksa berpindah keyakinan.

 

Tentunya, dalam kehidupan di dunia nan fana ini, siklus bangun-jatuh selalu terjadi. Seperti kata pepatah, "hidup bagaikan roda yang berputar." Bagaimanapun, sejarah juga mencatat bahwa di antara faktor-faktor yang melemahkan umat Islam Andalusia bukan hanya serangan dari eksternal, tetapi juga perpecahan di internal kaum Muslimin sendiri.

 

Abdul Halim mengibaratkan kemajuan Andalusia pada masa keemasan sebagai akumulasi nikmat dari Allah SWT. Kaum Muslimin kala itu ditopang keimanan, ketakwaan, serta keeratan silaturahim. Di samping itu, semangat amar ma'ruf nahi munkar juga masih kuat dan terjaga. Maka jadilah Andalusia sebuah Darus Salam, negeri yang makmur sentosa.

 

Di pengujung abad ke-13, wujudnya berangsur-angsur menjadi Darul Bawaar atau Negeri Kebinasaan. Kelompok non-Muslim yang ekstrem memaksakan kehendaknya pada umat yang tinggal di taifa-taifa taklukan.

 

Hanya Granada yang tetap bertahan selama kira-kira 200 tahun. Akan tetapi, keadaannya bagaikan gabus yang terapung-apung di tengah gelombang pasang, dikeliling karang-karang terjal. Di satu sisi, emirat tersebut mampu menggantikan peranan taifa-taifa lain yang sudah tumbang duluan.

 

“Jika Kordoba melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bajah, maka Granada memunculkan pula para ahli ilmu. Sebut saja, Ibnu Zamrak (sastra), Ibnu Huzail Hakim (filsafat), dan Abu Ishak asy Satibi, penulis Al Muwafaqat,” tulis Wawang F Ratnawulan dalam “Granada, Benteng Terakhir Umat Islam Andalusia.”

 

Yang tersisa dari kejayaan Islam di Andalusia, termasuk Granada, adalah peninggalan fisik, seperti seni arsitektur. Itupun dengan catatan, tidak sedikit bangunan masjid yang berubah fungsi menjadi gereja. Di kota itu, terdapat Istana Alhamra, jejak kekuasaan Bani Nashr yang tampak anggun, seperti imun dari terjangan waktu.

 

Bangunan yang secara harfiah berarti “merah” itu menjadi saksi bisu atas tumbuh dan runtuhnya daulah kekhalifahan di Eropa. Keberadaannya menyiratkan secercah optimisme: mungkinkah Islam kembali berjaya di Benua Biru?

top